Ir. Bejo Mulyono. MML
Pemerhati Keuangan Daerah
bije59@yahoo.co.id
Tulisan ini dibuat karena penulis tergelitik adanya berita pada harian Seputar Indonesia (SINDO) tanggal 31 Januari 2009, dengan judul “Tarif RSUD Denpasar naik 200%”. RSUD Denpasar menaikkan tarif sampai sebesar itu karena konsekuensi dari kebijakan Departemen Kesehatan yang menerapkan status Badan Layanan Umum Daerah bagi RSUD Wangaya. Mencermati dari berita tersebut mungkin perlu dipahami apa itu Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)?
I. Latar Belakang.
Pertama-tama mungkin perlu diketahui latar belakang pemerintah mengeluarkan peraturan tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Daerah) yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Hal ini disebabkan kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara Negara dewasa ini dirasa belum memuaskan masyarakat, contohnya, (1) dalam memberikan pelayanan tidak cepat namun terjadi prosedur yang berbelit-belit (kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?, bukannya kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit?); (2) adanya diskriminasi pelayanan, kalau masyarakat yang bersangkutan mempunyai jabatan atau uang, akan cepat dilayani, akan tetapi kalau masyarakat biasa (miskin) entar dulu; (3) biaya tidak transparan, katanya gratis tetapi kenyataan di lapangan masih harus bayar, membayarnyapun tidak ada standarnya; (4) adanya budaya kerja aparatur yang belum baik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kalau sudah jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), kerja tidak kerja gajinya sama; (5) waktu penyelesaian pemberian pelayanan yang tidak jelas, katanya kalau mengurus KTP dapat selesai dua hari, kenyatan di lapangan bisa sampai dua minggu; (6) banyaknya praktek pungutan liar, ini yang sampai saat ini masih susah di tanggulangi, alasannya klasik “ gaji” kurang, yang menjadi pertanyyan apa iya gaji kurang? Apakah bisa dijamin remunerasinya tinggi pungli tidak ada? Kondisi tersebut memberikan citra negative terhadap penyelenggara pelayanan di mata masyarakat. Sehingga akan berdampak pada rendahnya daya saing bangsa dan juga pertumbuhan ekonomi nasional, kenapa? Karena investor tidak mau lagi menanamkan modalnya di Indonesia, belum-belum sudah dipalak sehingga mengakibatkan biaya tinggi. Akibatnya banyak yang lari ke Negara lain seperti Vietnam, Singapura dan lain-lainnya.
Seperti kita ketahui, ada tiga jenis lembaga di pemerintah daerah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. (1) Public goods, yaitu pelayanan yang diberikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang operasionalnya seluruhnya dengan APBD, sifatnya tidak mencari keuntungan (non profit); (2) Quasi Public Goods, yaitu perangkat daerah yang dalam operasionalnya sebagian dari APBD dan sebagian lagi dari hasil jasa layanan yang diberikan, sifatnya tidak semata-mata mencari keuntungan (not for profit); dan (3) Private Goods, yaitu lembaga milik pemerintah daerah yang biaya operasionalnya seluruhnya berasal dari hasil jasa layanan (seperti BUMD, Perusahaan daerah) dan bersifat mencari keuntungan (profit oriented). Konsep pendanaan ke depan bagi perangkat daerah yang bersifat quasi public goods, adalah lembaga tersebut diberi kemudahan dalam pengelolaan keuangannya, khususnya yang berasal dari jasa layanan, dengan konsekuensi lambat laun pendanaan yang bersumber dari APBD presentasenya semakin dikurangi. Sehingga diharapkan dikemudian hari bisa mandiri. Alokasi anggaran berasal dari APBD yang selama ini dipergunakan untuk membiayai perangkat daerah tersebut dialihkan untuk membiayai perangkat daerah yang bersifat public goods, misal untuk pembangunan sekolahan, menambah kesejahteraan guru (kaitannya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa), membangun jalan, irigasi (kaitannya dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat). Sehingga ke depan APBD hanya fokus untuk digunakan pada pelayanan masyarakat yang bersifat public goods.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada perangkat daerah yang secara operasional memberikan pelayanan langsung pada masyarakat. Sekarang yang menjadi pertanyaan, kenapa dengan BLUD?
Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi anggaran. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, disebutkan bahwa BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Makna dari pengertian ini adalah: (1) BLUD merupakan perangkat daerah, mempunyai pengertian bahwa BLUD asetnya merupakan aset daerah yang tidak dipisahkan; (2) Perangkat daerah yang dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD adalah SKPD (sebagai Pengguna Anggaran) atau Unit Kerja pada SKPD (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran); (3) Memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, mempunyai pengertian bahwa SKPD atau Unit Kerja tersebut memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan tidak semata-mata mencari keuntungan; dan (4) Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, mempunyai arti bahwa BLUD dterapkan dalam rangka efisiensi anggaran dan peningkatan pelayanan pada masyarakat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BLUD masuk dalam perangkat pemerintah daerah yang bersifat quasi public goods.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut juga disebutkan bahwa BLUD merupakan Pola Pengelolaan Keuangan yang diterapkan pada SKPD atau Unit Kerja dengan diberikan fleksibilitas, yaitu berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Dari pengertian tersebut, SKPD atau Unit Kerja dapat disebut BLUD kalau SKPD atau Unit Kerja sudah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD). Hal ini untuk menepis adanya pemahaman bahwa BLUD merupakan suatu “kelembagaan”, padahal hanya merupakan Pola Pengelolaan Keuangan saja. Untuk itu, kalau mau menerapkan PPK-BLUD “lembaganya harus ada terlebih dahulu”. Pengaturan kelembagaan di daerah dengan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, dengan mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Penataan Organisasi Perangkat Daerah.
II. Persyaratan Menerapkan PPK-BLUD.
Dalam Permendagri tersebut juga disebutkan bahwa untuk menerapkan PPK-BLUD harus memenuhi beberapa persyaratan. Pemerintah Daerah harus selektif dan obyektif dalam menetapkan SKPD atau Unit Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Sehingga tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberikan pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD. Persyaratan untuk menerapkan PPK-BLUD, meliputi: (1) substantif; (2) teknis; dan (3) administratif.
Persyaratan substantif dipenuhi kalau SKPD atau Unit Kerja tersebut menurut tugas dan fungsinya memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dalam bentuk (a) penyediaan barang dan jasa, seperti penyediaan layanan dalam bidang kesehatan (Rumah Sakit Daerah, Puskesmas, dan Laboratorium), pendidikan (sekolahan, pendidikan dan pelatihan), transportasi (terminal, jasa penyeberangan, jasa transportasi), pariwisata (pengelolaan wisata daerah), perdagangan (pasar tradisional), kebersihan (pengelolaan sampah, limbah), penyediaan bibit/pupuk, dan lain-lainnya; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, seperti pengelolaan kawasan ekonomi di suatu wilayah; (c) pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat, seperti pengelolaan dana bergulir, pengelolaan dana perumahan.
Persyaratan teknis terpenuhi, apabila SKPD atau Unit Kerja tersebut kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD, serta kinerja keuangannya sehat.
Persyaratan administratif, apabila SKPD atau Unit kerja menyampaikan dokumen persyaratan, yang meliputi (1) surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; (2) pola tata kelola; (3) rencana strategis bisnis; (4) standar pelayanan minimal; (5) laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan (6) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Dari ketiga persyaratan tersebut, persyaratan administratif yang sangat menentukan dapat tidaknya SKPD atau Unit Kerja menerapkan PPK-BLUD. Hal ini disebabkan dari dokumen administratif tersebut akan dinilai oleh tim penilai yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, yang anggotanya paling sedikit terdiri dari: (1) Sekretaris Daerah, sebagai ketua merangkap anggota; (2) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), sebagai sekretaris merangkap anggota; (3) Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai anggota; (4) Inspektorat Daerah, sebagai anggota; (5) Tenaga ahli (kalau diperlukan) sebagai anggota. Dari tim penilai ini dikeluarkan rekomendasi kepada Kepala Daerah, layak tidaknya usulan SKPD atau Unit Kerja tersebut untuk menerapkan PPK-BLUD. Untuk itu, tim penilai harus betul-betul memahami konsepsi BLUD. Kalau tidak paham, penerapan BLUD hanya sekedar ganti nama belaka dan tidak akan tercapai tujuan BLUD. Untuk itu, dalam memudahkan tim penilai dalam menilai dokumen administratif, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 900/2759/SJ tanggal 10 September 2008 perihal Pedoman Penilaian Penerapan PPK-BLUD. Setelah Kepala Daerah menerima hasil penilaian dari tim penilai, Kepala Daerah memutuskan menerima atau menolak usulan SKPD atau Unit Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Kalau usulan diterima, penetapan penerapkan PPK-BLUD dengan Keputusan Kepala Daerah (tidak dengan Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah). Penetapannya dengan Status BLUD Penuh atau BLUD Bertahap, yang membedakan dari status BLUD tersebut adalah dalam pemberian fleksibilitasnya. Untuk BLUD dengan status penuh, diberikan seluruh fleksibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut. Sedangkan BLUD Bertahap, diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan serta tidak diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan/atau jasa.
III. Fleksibilitas BLUD
SKPD atau Unit Kerja yang menerapkan PPK-BLUD diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya, antara lain:
1. Pendapatan BLUD yang berasal dari jasa layanan dapat digunakan langsung untuk membiayai kegiatannya, sehingga tidak masuk kas daerah terlebih dahulu. Hal ini sangat terasa pada Rumah Sakit Daerah, kalau Rumah Sakit Daerah tidak menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, pendapatan harus disetor ke Kas Daerah (tidak boleh digunakan langsung). Kita mungkin perlu merenung, apa yang akan terjadi kalau sebuah RSD memerlukan obat bagi pasiennya dengan sangat segera, sementara obat di RSD tersebut sudah tidak mencukupi atau mungkin sudah tidak ada. Kalau RSD tersebut belum menerapkan PPK-BLUD maka pencairan dananya harus melalui mekanisme dalam APBD sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berapa waktu yang harus diperlukan sampai tersedianya obat-obatan tersebut? Bisa jadi pasiennya tidak tertolong jiwanya. Selain itu, penerimaan yang bersumber dari APBD atau APBN dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD, hal ini mempunyai makna bahwa BLUD yang telah memberi jasa layanan pada masyarakat, namun pemerintah (melalui APBN) atau pemerintah daerah (melalui APBD) yang membayar untuk jasa layanan tersebut. Dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah membeli jasa layanan yang telah diberikan oleh BLUD. Sehingga APBN atau APBD tersebut dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD.
2. Dalam pelaksanaan belanja (biaya), BLUD boleh melampaui pagu yang telah ditetapkan (flexsible budget) sepanjang pendapatan atau belanjanya bertambah atau berkurang. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh melampaui anggaran yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
3. BLUD boleh melakukan utang/piutang, investasi, dan kerjasama. Utang atau pinjaman dan investasi jangka panjang harus dengan persetujuan Kepala Daerah. Sementara kalau SKPD biasa tidak boleh melakukan utang/piutang, investasi dan kerjasama, yang diperbolehkan adalah Pemerintah Daerah.
4. Pengadaan barang dan jasa untuk pendapatan yang berasal selain dari APBD atau APBN boleh tidak dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau perubahannya. Makna dari pemberian fleksibilitas dalam pengadaan barang dan jasa dimaksud, adalah untuk mempercepat pelayanan yang diberikan. Namun tetap dengan prinsip efisien, efektif, transparan, bersaing, adil/tidak diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat.
5. Pengelolaan barang, BLUD boleh menghapus aset tidak tetap. Sebagai contoh, RSD yang telah menerapkan BLUD, boleh menghapus aset-aset yang sudah tidak produktif atau sudah tidak efisien lagi. Seperti tempat tidur pasien yang sudah reyot, dari pada memenuhi ruangan/gudang lebih baik dijual. Hasil dari penjualan aset tersebut merupakan pendapatan BLUD.
6. Pejabat Pengelola dan pegawai BLUD, boleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Non PNS. Pegawai Non PNS diperlukan sepanjang BLUD yang bersangkutan sangat membutuhkan dan dalam rangka peningkatan pelayan. Kriteria pengelola dan pegawai BLUD baik PNS maupun Non PNS harus yang betul-betul profesional, jangan sampai pegawai yang ada di BLUD karena titipan dari para pejabat yang berpengaruh di daerah tersebut. Pemimpin BLUD harus mempunyai komitmen dan berani menolak kalau memang tidak masuk dalam kriteria yang telah ditetapkan. Perlu disadari, bahwa setiap tahun antara pemimpin BLUD dengan kepala daerah menandatangani perjanjian kinerja (contractual performance agreement). Apa makna dari perjanjian kinerja dimaksud? Kepala daerah menugaskan pemimpin BLUD untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum dan berhak mengelola dana sesuai yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BLUD. Apa sanksi kalau kinerjanya tidak tercapai? Pemimpin BLUD bisa dicopot dari jabatannya. Untuk itu, pengelola dan pegawai BLUD harus yang benar-benar profesional, karena jabatan taruhannya. Sehingga jadi pemimpin BLUD, seperti duduk di kursi panas, setiap tahun bisa dilengserkan.
7. BLUD boleh mengangkat Dewan Pengawas, sepanjang asset maupun omsetnya memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk saat ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut, disebutkan bahwa Dewan Pengawas dapat berjumlah 3(tiga) orang kalau nilai asetnya sebesar 75 (tujuh puluh lima) miliar rupiah sampai dengan 200 (dua ratus) miliar rupiah, atau nilai omsetnya antara 15 (lima belas) miliar sampai dengan 30 (tiga puluh) miliar rupiah setahun. Sementara itu, Dewan Pengawas dapat berjumlah antara 3 (tiga) atau 5 (lima) orang kalau nilai asetnya diatas 200 (dua ratus) miliar rupiah atau nilai omsetnya di atas 30 milai rupiah setahun. Lalu siapa yang berhak jadi Dewan Pengawas? Untuk BLUD-SKPD adalah Sekretaris Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan Tenaga Ahli. Sedangkan BLUD Unit Kerja, terdiri dari Kepala SKPD induk, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dan Tenaga Ahli. Bolehkah Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas? jawabannya tidak. Karena dilihat dari tugas Dewan Pengawas salah satunya adalah melaporkan kepada Kepala Daerah tentang kinerja BLUD. Kalau Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas, maka Kepala Daerah tersebut melaporkan kepada dirinya sendiri, bisa diistilahkan jeruk makan jeruk.
8. Remunerasi pejabat pengelola BLUD, dewan pengawas, sekretaris dewan pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan remunerasi sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan. Sehingga tidak lagi pengaturannya seperti PNS, kalau golongan dan masa kerja sama, gaji yang diterima setiap bulan akan sama. Namun kalau sudah jadi BLUD besaran remunerasi dapat dihitung berdasarkan indikator penilaian antara lain: (1) pengalaman dan masa kerja (basic index); (2) ketrampilan, ilmu pengetahuan dan perilaku (competency index); (3) resiko kerja (risk index); (4) tingkat kegawatdaruratan (emergency index); (5) jabatan yang disandang (position index); dan (6) hasil/capaian kinerja (performance index).
9. Penetapan tarif BLUD, ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (bukan dengan Peraturan Kepala Daerah). Kenapa? Karena untuk mempercepat proses penetapan dan efisiensi biaya. Namun demikian, penetapan tarif harus mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, serta kompetisi yang sehat. Selain itu, dalam penetapan tarif, Kepala Daerah dapat membentuk tim untuk mengkaji kelayakan besaran tarif yang akan ditetapkan, yaitu dengan melibatkan pembina teknis, pembina keuangan, unsur perguruan tinggi dan lembaga profesi. Penetapan tarif pada BLUD mestinya berdasarkan unit cost. Untuk kasus RSUD Wangaya Denpasar yang besaran tarif untuk kelas III sebesar Rp.33.000, yang sebelumnya Rp.11.000,- supaya tidak memberatkan masyarakat mestinya masih ada subsidi dari APBD. Untuk itu, kalau besaran tarif sebesar Rp.33.000,- tersebut sudah berdasarkan perhitungan unit cost, namun kalau pemerintah daerah yang bersangkutan mempunyai komitmen untuk membantu masyarakat golongan bawah, maka yang dibebankan kepada masyarakat tidak harus sebesar angka tersebut, misalnya Rp.20.000, maka sisanya sebesar Rp. 13.000,- dibayar oleh pemerintah daerah kepada RSUD Wangaya sebagai pendapat RSUD tersebut. Namun juga perlu diingat bahwa nilai uang sebesar Rp.11.000,- saat ini sampai di mana? Namun demikian, masyarakat hendaknya juga berfikir realistik, kalau pasien dirawat inap harus makan tiga kali sehari? Apakah cukup Rp.11.000,- tersebut? Bisa-bisa pasien sudah sehat tidak mau pulang karena makannya lebih terjamin. Demikian juga yang harus disadari oleh masyarakat yang mampu (golongan menengah-atas), jangan sampai kalau sakit jadi miskin (sadikin). Untuk itu, perlu dipahami oleh jajaran pemerintah daerah, bahwa SKPD atau Unit Kerja yang sudah menerapkan PPK-BLUD, kewajiban pemerintah daerah dalam hal ini APBD masih tetap diperlukan dalam meningkatkan pelayanannya. Karena pendapatan BLUD itu minimal sama dengan belanja/biayanya.
10. Dalam menyusun Laporan Keuangan, BLUD merupakan perangkat daerah yang tidak dipisahkan. Untuk itu laporan keuangan BLUD merupakan bagian dari laporan keuangan SKPD atau Pemerintah Daerah. BLUD akuntansinya wajib menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sementara laporan Keuangan Pemerintah menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, maka di sini perlu adanya konsolidasian dalam menyusun laporan keuangan BLUD.
Dengan adanya kemudahan/fleksibilitas yang diberikan sebagaimana tersebut di atas, hendaknya menerapkan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas dimaksud. Namun harus disadari, menerapkan PPK-BLUD karena mempunyai kemauan untuk meningkatkan kinerja keuangan, kinerja manfaat dan kinerja pelayanan. Dilain pihak, dalam implementasinya sampai saat ini masih ada keragu-raguan dari para pejabat di daerah tentang keberadaan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 dimaksud, karena di dalam hirarki perundang-undangan Peraturan Menteri tidak termasuk di dalamnya. Sehingga sering muncul pertanyaan, “masa Permendagri menabrak Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”. Untuk itu, dapat kami jelaskan bahwa keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri 61 Tahun 2007 tersebut ada karena amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 150, dimana disebutkan “Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan”. Untuk itu, keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri tersebut sangat kuat. Oleh karena itu, dalam membaca Peraturan Menetri Dalam Negeri tersebut hendaknya bersamaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, karena antara keduanya merupakan satu kesatuan.
IV. Keberhasilan Implentasi Penerapan BLUD
Apa yang harus dipersiapkan daerah dalam menunjang keberhasilan implementasi BLUD?
1. Perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan (enterpreneurship) bagi stakeholder terkait mulai dari kepala daerah, sekretaris daerah, PPKD, Kepala BAPPEDA, Inspektur Daerah dan pejabat pengelola BLUD.
2. Perlunya penyiapan regulasi dan instrumen pendukung sebagai penjabaran dari ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 untuk digunakan sebagai pedoman operasional implementasi PPK-BLUD, antara lain penetapan Tim Penilai, Standar Pelayanan Minimal, dan Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah terkait dengan fleksibilitas yang diberikan.
3. Perlu adanya pemahaman tentang konsepsi mengenai Rencana Strategis (RENSTRA) Bisnis, Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA), Tata Kelola, Standar Pelayanan Minimal, Standar Akuntansi Keuangan (SAK), konsolidasian RBA dan laporan keuangan dengan APBD.
V. Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan obyektif oleh Pemerintah Daerah, tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang memberi pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD, harus dilihat kesiapan SDM-nya dan perangkat pendukungnya;
2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan, tetapi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan kinerja keuangan;
3. BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran APBD masih tetap diperlukan dalam peningkatan pelayanan; dan
4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan (enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan peraturan pendukung, serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.
Selasa, 15 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
izin share
BalasHapusAre BLUDs applicable to agricultural processing facilities? or seed production centres?
BalasHapus